(Bismillaahirrahmaanirrahiim)
Lagi-lagi saya mendapat
kesempatan menuntut ilmu kepada seorang penulis ternama. Ya, beliau adalah
Habiburrahman El Shirazy atau yang biasa dipanggil Kang Abik. Kang Abik
diundang secara khusus untuk mengisi stadium general (kuliah umum) di kampus
STIM (Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Mukmin) Ngruki, Sukoharjo bertepatan hasi
Senin tanggal 31 Agustus 2015. Namun, saya sebagai anggota IIDN (Ibu-Ibu Doyan
Nulis) Solo mendapat kesempatan belajar bersama Kang Abik atas undangan dosen
STIM, Pak Fajar Shodiq, yang juga merupakan suami dari ibu penasehat IIDN SOLO,
Ibu Candra Nila Murti Dewojati. (Sedikit nepotisme apa ndak ya ini..hehehe).
Acara dijadwalkan
dimulai pukul 13.00 WIB. Namun saya baru sampai di lokasi pukul 14.15 WIB
karena menghabiskan jam dinas terlebih dahulu. Untungnya acara belum dimulai
dan terpaksa diundur karena pesawat Kang Abik baru mendarat pukul 13.00 WIB di
Bandara Adi Soemarmo, Boyolali, sehingga masih butuh waktu untuk perjalanan
dari bandara ke kampus STIM.
Setelah daftar ulang, saya langsung menuju ruang
seminar. Saya PD saja duduk sendirian diantara sekian banyak siswa SMA dan
Mahasiswa STIM yang rata-rata masih remaja dan tidak ada yang saya kenal
satupun (Peserta seminar kemarin juga dihadiri oleh siswa kelas 3 SMA Pondok
Al-Mukmin Ngruki, SMA Islam Gading dan Siswa SMA MTA Surakarta). Setelah
beberapa lama saya menjadi “ibu-ibu” sendirian, akhirnya datanglah Bu Candra,
sehingga duduklah dua “ibu-ibu” diantara sekian banyak remaja yang cantik dan
ganteng. Tak lama setelah kedatangan Bu Candra, seolah ada ikatan jiwa antara
sepasang suami istri, Pak Fajar yang menjadi moderator mulai memberikan
sambutan. Sempurna! (Pak Fajar kok seperti nunggu istrinya datang dulu
biar nggak ketinggalan, hehehe. Nah lho, ini mau nyeritain Kang
Abik apa nyeritain Pak Fajar dan BU Candra, to?cut cut cut! Hehehe).
Singkat cerita (padahal masih panjang), Kang Abik
telah tiba di lokasi dan mulai berbagi pengalamannya tentang novel dan film. Berikut
ini akan saya ulas dengan bahasa saya sendiri dan sedikit tambahan tanpa
mengubah inti materi. Selamat mambaca! J
Pak Fajar Shodiq dan Kang Abik |
Kang Abik memulai dengan cerita dalam Q.S. Yusuf,
saat Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam memerintahkan anak-anaknya pergi ke Mesir di
musim kemarau yang panjang. Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam menganjurkan agar
anak-anaknya memasuki Mesir secara menyebar “dari berbagai pintu, tidak pada
pintu yang sama”. Menurut Kang Abik, kalimat “dari berbagai pintu, tidak pada
pintu yang sama” ini sangat cocok untuk metode berdakwah. Berdakwah di jalan
Alloh itu dari pintu yang bermacam-macam, karena cara berpikir manusia
berbeda-beda, tidak ada yang sama. Dari sekian banyak masyarakat, ada di antara
mereka yang hatinya bisa disentuh lewat mimbar masjid dengan ceramah-ceramah,
ada yang bisa disentuh melalui pelatihan-pelatihan, ada yang bisa disentuh
melalui hobi yang baik, ada juga yang bisa disentuh dengan jalan pendidikan dan
lain-lain. Diantara sekian banyak pintu tersebut ada yang bisa disentuh melalui
seni. Seni yang dimaksud di sini adalah karya sastra.
Jika diperhatikan,
Alloh Subhanahu Wa Ta’ala memberikan mukjizat kepada Nabi pilihan-Nya sesuai
dengan keadaan kaum Nabi tersebut. Alloh Subhanahu Wa Ta’ala memberikan
mukjizat kepada Nabi Musa ‘Alaihissalam berupa tongkat yang bisa diubah menjadi
ular. Ketika itu kaum Nabi Musa ‘Alaihissalam banyak yang menggunakan sihir.
Siapa yang paling kuat sihirnya, maka dialah yang menang. Alloh Subhanahu Wa
Ta’ala memberikan mukjizat kepada Nabi Isa ‘Alaihissalam berupa kemampuan bisa
menyembuhkan orang buta, kusta bahkan menghidupkan orang yang telah meninggal
atas ijin-Nya. Saat itu kaum Nabi Isa ‘Alaihissalam sedang berada di puncak
mengenal ilmu yang berkaitan dengan kesehatan. Demikian pula Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam diberi mukjizat oleh Alloh Subhanahu Wa Ta’ala
berupa Al-Qur’an yang merupakan firman Alloh Subhanahu Wa Ta’ala yang bernilai
sastra tinggi dan tiada tandingannya. Pada saat itu kaum Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wassalam merupakan kaum yang pandai bersyair. Kabilah-kabilah di Arab
bisa berseteru hanya karena syair suatu kabilah yang isinya memuji-muji
pemimpinnya atau merendahkan kabilah lain. Al-Qur’an diakui sebagai mukjizat
paling hebat dan mengalahkan syair-syair. Para pakar syair di zaman Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam terpesona dengan Al-Qur’an cukup dengan tiga huruf
Alif Lam Mim. Al-Qur’an diakui tidak berasal dari manusia tetapi kebanyakan
dari mereka tidak beriman.
Penyair di zaman
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam terbelah menjadi dua, sebagian masuk
islam dan sebagian lagi tetap jahiliyah/ memusuhi islam.
Ketika Fathul
Makkah, dimana Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menyerukan aman bagi
siapa saja yang masuk Masjidil Haram dan rumah Abu Sofyan. Ada beberapa penyair
yang tidak diampuni Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam karena selalu
menghina dan merendahkan islam juga Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.
Saat itu Rasulullah memanggil Hasan bin Tsabit yang terkenal sebagai penyairnya
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Beliau memerintahkan kepada Hasan bis
Tsabit untuk mengeluarkan syairnya, mengucapkan syairnya dan Beliau berkata
bahwa Jibril akan menyertai Hasan bin Tsabit. Namun, dalam syairnya, meskipun
Hasan bin Tsabit bermaksud membalas kepada mereka yang menghina islam, Hasan
bin Tsabit tetap menggunakan bahasa yang sopan. Dari cerita ini bisa diambil
kesimpulan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menggunakan syair
melalui Hasan bin Tsabit untuk berdakwah, sedangkan syair termasuk karya sastra.
Kang Abik sendiri
pun bercerita ketika sedang di Mesir, Kang Abik pernah menemukan kumpulan syair
Abu Bakar Ash-Shidiq, Diwan Abu Bakar, yang menandakan bahwa Abu Bakar
Ash-Shidiq ternyata seorang penyair yang ulung.
Menurut Kang Abik,
sastra bisa dikemas dalam berbagai hal diantaranya film. Tentu film ini harus
mendidik sehingga mempengaruhi kehidupan ke arah lebih baik. Kang Abik
bercerita ketika mungkin dulu saat novel beliau, Ayat-Ayat Cinta, difilmkan dan
menjadi pro kontra, beliau hanya ingin sisi positifnya bisa menjadikan
kebaikan. Salah satunya yaitu ketika Aisyah bercadar, hal tersebut agar
masyarakat awam tidak takut dan memandang negatif terhadap orang bercadar. Dan
benar saja, film Ayat-Ayat Cinta yang fenomenal itu menimbulkan fenomena sosial
lain yaitu muncul kerudung Ayat-Ayat Cinta sehingga semakin banyak muslimah
yang berkerudung.
Pengalaman Kang
Abik yang lain yaitu dalam film Ketika Cinta Bertasbih (KCB), pemain yang
bermain dalam film tersebut dikontrak untuk tidak bersentuhan tangan dengan
pemain lawan jenis yang bukan mahram. Hal tersebut tentu sangat berpengaruh
terhadap penonton, karena ternyata ada artis yang tetap menjaga diri walau dia
bermain peran dengan lawan jenis.
Jika dilihat, di
Indonesia rating televisi yang paling tinggi adalah sinetron. Jika saja ada
insan pertelevisian yang bisa memanfaatkan dengan menyuguhkan sinetron yang
berkualitas, maka akan membawa perubahan positif tersendiri bagi penikmat
sinetron. Gambar saja yang tidak ada kata-katanya mampu menjelaskan peristiwa
yang terjadi. Misalnya gambar seorang anak kecil yang menangis di depan jenazah
ibunya, orang yang melihat gambar tersebut bisa ikut merasa sedih bahkan
menangis membayangkan peristiwa dalam gambar. Begitu dahsyatnya masa
terpengaruh oleh yang ditontonnya maka bisa kita simpulkan bahwa media itu
ibarat pisau. Pisau, jika di tangan penjahat, akan digunakan untuk kejahatan.
Tetapi, jika di tangan seorang ibu, maka akan digunakan untuk kebaikan, seperti
memasak untuk suami dan anak-anak. Maka media harus bisa kita manfaatkan
sebaik-baiknya untuk menebar kebaikan.
Oleh karena itu,
bisa saya simpulkan dari materi yang disampaikan Kang Abik, bahwa dalam
berdakwah, kita harus cerdas dan inovatif dengan tetap memegang nila-nilai
kebaikan.
Nah, sudah
selesai (ngos-ngosan nih,hehehe). Setelah materi selesai, dilanjutkan sesi
tanya jawab dan foto-foto serta minta tanda tangan Kang Abik. Oh iya, seminar
sempat di break untuk sholat Ashar terlebih dahulu, dan saat Ashar itu Bunda
Yuni nyusul ikut seminar. Jadi bergabunglah tiga ibu-ibu di antara
remaja-remaja nan cantik dan ganteng. Kami pun berfoto dengan Kang Abik dan
mendapat tanda tangannya. Sayangnya kami tidak ada yang membawa novel beliau,
sehingga tanda tangannya di buku biasa, sayang banget kan padahal di rumah ada
novelnya beliau. Tapi Alhamdulillah banget deh bisa ikut belajar bersama Kang
Abik walau harus memendam rindu pada keluarga karena jam 5 sore baru selesai.
Hehehe. Lebay! Yang kemarin tidak bisa
gabung jangan ngiri ya! Hehehe.
(dari kiri) Bu Candra, Pak Fajar, Kang ABik, Bunda Yuni, dan Saya (Fafa Fathurrohma) |
Tanda Tangan Kang Abik |
(dari kiri) Bu Candra, saya (Fafa Fathurrohma) dan Bunda Yuni |
Akhir kata, mohon
maaf jika dalam tulisan saya ada yang tidak berkenan. Terima kasih sudah mau
membaca sedikit tulisan saya yang menurut saya agak amburadul. Semoga
bermanfaat. Salam! J
Fafa
Fathurrohma
Sukoharjo,
4 September 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar