Man Jadda Wajada

barang siapa yang bersungguh-sungguh maka dapatlah ia

Kamis, 17 Maret 2016

AKU DAN KEHIDUPANKU





 Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Bismillahirrahmanirrahim…

Hari Rabu, 4 Januari 27 tahun silam, aku terlahir ke dunia dari pasangan suami istri, Ali Sobron dan Zahrotus Sholikhah. Bapak memberiku nama Fatkhurohmah yang berarti pembuka rahmat / kasih sayang. Dulu, aku sempat protes kepada Bapak kenapa memberiku nama Fatkhurohmah. Susah, Pak! Guru saya salah terus membaca nama saya, Pak! Namanya terlalu pendek, Pak! Bapak hanya tersenyum dan selalu menjawab kalau saya beruntung tidak diberi nama khas orang Jawa jaman dulu yang namanya mempunyai akhiran –em seperti suliyem, painem, paijem. Bukannya apa-apa, tapi jaman kecilku dulu sudah berbeda dengan jaman Bapak. Jaman kecilku kalau namanya masih khas orang Jawa jaman Bapak memang sering diledek teman.


saya waktu kecil, sumber: dokumen pribadi
Aku terlahir sebagai anak kedua dari lima bersaudara. Kakakku laki-laki, bernama Muhammad Furqon Aliza, selisih 2 tahun denganku. Adikku laki-laki, bernama Sholikhin Fahmi, selisih 6 tahun denganku. Adikku yang kedua juga laki-laki, bernama Khoirul Fahmi Islakhudin, selisih 10 tahun denganku. Adikku yang terakhir perempuan, bernama Nikmatus Sholikhah, selisih 12 tahun denganku. Melihat nama-nama saudara kandungku, terlihat kan kalau nama saya paling pendek? Dulu waktu masih suka protes, kalau mengisi biodata, nama depan kuisi Fatkhurohmah, nama belakang juga kuisi Fatkhurohmah, kalau ada nama tengah, kuisi juga dengan Fatkhurohmah. Biar terlihat panjang saja, walau sebenarnya tidak. Hehehe.

Bapak baru saja pensiun tahun lalu. Beliau adalah guru SLB-A di Kota Surakarta (Solo). Beliau sangat gigih berjuang membesarkan dan menyekolahkan anak-anaknya. Beliau adalah sosok yang sabar dan penyayang. Ibu tak kalah hebatnya, tanpa pengorbanan beliau mungkin aku bukanlah siapa-siapa. Aku sangat menyayangi Bapak dan Ibu, walau mungkin hingga sekarang aku belum bisa membahagiakan mereka.

Sejak lahir hingga sebelum menikah, aku tinggal di desa Wonorejo yang terletak di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo. Sebuah desa yang berarti dalam bagiku. Tinggal di sana membuatku memiliki dasar pengetahuan agama. Desaku memang terkenal tempat tinggalnya orang-orang beragama. Merupakan basis Muhammadiyah. Sehingga beruntung sekali bisa tinggal di sana. Aku sendiri sebelum menikah ikut aktif di organisasi binaan Muhammadiyah. Setelah menikah, saya pindah rumah di Grogol, Sukoharjo, sehingga tidak bisa ikut lagi.

Saat SD aku bersekolah di SD Muhammadiyah Wonorejo. Beragam rasa kehidupan paling banyak kulalui saat duduk di bangku SD. Banyak cacian hingga pujian yang kurasakan. Dulu ada temanku yang sukanya jadi sok ratu di kelas, aku disuruh-suruh, kalau tidak nurut dia bakal mengajak teman-teman menjauhiku. Bukan kepada saya saja dia seperti itu, tapi juga pada teman yang lain. Hingga suatu ketika entah bagaimana ceritanya saat kelas 2 SD anak-anak perempuan bertengkar hebat. Ada tiga anak perempuan yang memang sok jadi ratu di kelas. Mereka sok punya pengikut dan menyuruh teman yang mengikutinya nurut sama mereka. Yang dua keponakan guru di SD, satu lagi anak pejabat desa. Mungkin karena latar belakang itu kali ya yang bikin mereka sok. Ketiga ratu-ratuan itu entah bagaimana bisa bertengkar, pengikutnya pada belain. Tetapi entah bagaimana bisa ceritanya salah satu dari ratu jadi-jadian itu menyebut namaku ke guru yang kebetulan memang saudaranya. Aku jadi dimarahin, dibilangin jangan nakal. Aku merasa sangat sakit hati waktu itu. Yang lebih membuatku sakit hati, guru itu malah menyuruh teman-temanku menjauhiku. Aku merasa sangat tertekan, dan aku hanya bisa diam saat itu. Tetapi teman-temanku yang lain juga tahu, siapa yang sebenarnya suka jadi ratu jadi-jadian, aku ini cuma jadi kambing hitam. Parahnya lagi, saat di depan sekolah, salah satu ibu temanku ada yang terang-terangan di depanku menyuruh anaknya menjauhiku karena termakan omongan anaknya yang pengikut ratu jadi-jadian. Aku merasa semakin tertekan dan takut. Mungkin peristiwa itu menjadi salah satu pemicu yang membuatku dulu menjadi seorang yang minder karena takut dicela orang, takut salah lalu dipermalukan.

Drama ratu jadi-jadian sudah selesai saat aku dan temanku-temanku naik kelas 3 SD. Semua berteman. Walau pahitnya masih terasa, namun yang kuingat dari kelas 3 SD hingga kelas 6 SD guru-guruku banyak yang memujiku karena prestasiku bisa sering juara 1. Bahkan guru yang dulu mengolokku berubah jadi memujiku dan menyuruh ponakannya (yang dulu sok ratu) buat rajin belajar agar juara seperti aku. Walau penyakit sok ratu temenku itu sudah sembuh, aku sering menerima kekesalannya karena dibanding-bandingkan sama aku. Ya aku senyum saja to.

Enam tahun di sekolah dasar, yang merupakan saat terindah adalah saat kelas 6 SD. Saat kelas 6 SD itulah aku mulai mengenal arti pengorbanan, persahabatan dan rasa suka (cieee) yang pada akhirnya kenangan persahabatan kelas 6 SD itu benar-benar berakhir saat aku duduk di bangku kuliah. Sebuah cinta yang tersimpan dalam diam hahaha :D Asyiknya menjalani kehidupan saat kelas 6 SD dihiasi dengan menjadi pemain angklung saat perpisahan dan ditutup dengan kalung lulusan bertuliskan lulusan terbaik 1.


perpisahan SD, 28 Juni 2001, sumber: dokumen pribadi
Lulus dari SD, dan gagal move on karena tak rela berpisah dengan teman-teman SD (bahkan seringkali aku membanggakan SD-ku), aku melanjutkan sekolah ke SMP N I Mojolaban (SMP Bekonang). Sekolah negeri yang katanya dulu favorit dan merupakan afiliasi SMP N 4 Surakarta (Solo). Banyak kenangan yang kudapatkan saat duduk di bangku SMP. Saat SMP inilah kepercayaan diriku yang paling tinggi kurasakan. Banyak sekali teman yang kukenal satu angkatan, dari kelas A hingga E, yang perempuan 99% kukenali. Dulu aku sering main dari satu kelas ke kelas lain biar banyak teman. PD sekali saat itu. Bahkan kakak kelas perempuan pun banyak yang kukenal. Saat di SMP, aku mengikuti semua ekstrakurikuler di sekolah yang hanya berjumlah tiga, yaitu pramuka, PMR, dan kulintang. Mengikuti kulintang membuatku merasa sangat senang karena menyalurkan hobi musikku. Setiap berapa bulan, aku dan teman-temanku yang ikut kulintang akan siaran di RRI Solo. Aku memegang melodi dan juga menyanyi 1 atau 2 lagu. Pengalaman ekstra kurikulerku berubah lucu saat pemilihan pengurus PMR. Entah bagaimana, pemilihan secara voting yang sangat diharapkan oleh seseorang untuk diraihnya justru jatuh ditanganku yang sama sekali tak mengharapkan sebuah posisi sebagai wakil ketua. Lucunya lagi saya jadi wakil ketua tapi tidak pernah diajak untuk rapat. Yang rapat-rapat malah yang ikut OSIS hahahaha. Ketahuan kalau saya tidak dianggap. Hihihi. Jamanku dulu pengurus OSIS dipilih dari pengurus kelas, yang bukan pengurus kelas tidak akan jadi pengurus OSIS. Sebagian besar yang bukan pengurus OSIS tentunya memandang anak-anak OSIS itu kebanyakan merasa eksklusif (bahasa kasarnya sok eksklusif) walau sebenarnya memang itu beberapa oknum. Namun, pengurus OSIS periode adik kelasku mulai berubah, pengurus OSIS tidak diambil dari pengurus kelas, melainkan tes akademik dan beberapa tes lainnya.

Pengalamanku di SMP juga diisi dengan beberapa kali mendapat tugas menjadi pembaca Al-qur’an di awal acara perpisahan dan pengajian di sekolah. Sungguh aku sendiri tidak mengerti sampai sekarang mengapa saat itu mau-mau saja, padahal tentunya aku berdiri di hadapan banyak orang. Pengalaman yang tak kalah seru adalah saat aku ikut lomba Bahasa di tingkat Kabupaten dan lomba pidato Bahasa Inggris di acara jeda semester di sekolah. Secara teks, saat pidato Bahasa Inggris hafal sekali, tapi saat maju tidak bisa menyembunyikan nervous. Selesai pidato saya malah nangis di kelas dan minta maaf karena tidak tampil dengan PD pada teman-teman. Teman-teman menghibur bahwa sudah sangat baik saya mau mewakili kelas walau tidak menang.

Saat kelas 3 SMP, aku dan beberapa temanku secara tak langsung membuat kelompok belajar yang akhirnya menamai diri kami menjadi M3ARPA. M3ARPA adalah gabungan dari nama depan kami; Mifta, Muslimah, Modin, Ammah (saya), Rini, Puji, Ahmad. Kelompok M3ARPA ini dulu sering belajar bareng bergiliran dari satu rumah ke rumah yang lainnya menjelang ujian sambil main tentunya. Eh tapi kami tidak mengenal pacaran loh. Kelompok ini sedikit sok eksklusif hihihi karena isinya pemegang rangking semua. Dan aku tidak tahu apa pendapat teman-teman sekelas waktu itu, apa kelompok kami agak sok atau apa, aku tak mau tahu hehehehe.

Setelah ujian SMP berakhir, di acara perpisahan, aku dan teman-temanku yang ikut kulintang kembali beraksi. Perpisahan itu kututup dengan bahagia sekaligus sedih. Bahagia karena berhasil mendapat peringkat 5 paralel dan sedih karena berpisah dengan teman-teman. Sedih dan bahagia yang seimbang.

Memasuki bangku SMA, aku terdampar di SMA N I Sukoharjo. Terdampar karena awalnya ingin sekolah di SMA N I Surakarta (SMA N I Solo), namun karena dari luar daerah kuota yang diambil sedikit dengan pesaing banyak, aku harus rela melepas mimpi. Dari 60 siswa luar daerah yang akan diterima, aku menduduki peringkat 72 dan otomatis harus mencabut pendaftaranku. Di hari-hari pendaftaran yang hampir berakhir, Bapak menyuruhku mendaftar di SMA N 3 Surakarta karena nilaiku jelas diterima di sana, tetapi aku takut, di sana katanya siswanya kebanyakan orang-orang cina yang cerdas dan kaya raya, aku minder. Bapak meyakinkanku bahwa banyak juga orang jawa, tetapi aku tetap tidak mau. Aku pun akhirnya didaftarkan Bapak ke SMAN I Sukoharjo dan diterima.

Beberapa hari belajar di kelas, tiba-tiba aku menjadi salah satu siswa yang diikutkan tes untuk masuk kelas akselerasi. Akhirnya saat diumumkan, dari 39 siswa, aku berada diurutan 23. Setelah proses wawancara siswa dan orang tua, aku resmi menjadi salah satu siswa akselerasi SMAN I Sukoharjo angkatan pertama. Menjadi siswa akselerasi membuat hidupku berubah. Dulu di SMP, aku sangat mudah bergaul. Namun, di SMA secara tidak langsung pergaulanku berubah 180 derajat. Kami siswa aksel menjadi sorotan siswa regular. Entah apa yang ada di pikiran mereka, ada yang iri karena kelas kami paling mewah saat itu (bayarnya juga mahal lho), ada yang nunjuk-nunjuk kami kalau lewat, cah aksel lewat-cah aksel lewat, bahkan ada yang terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan. Aku dan teman-temanku juga tidak tahu apa salah kami, sampai ada yang begitu. Kami pun akhirnya hanya berkutat di kelas dan ke luar jika ada perlu. Selain karena pelajaran kami yang padat, jadwal masuk dan libur kami juga berbeda dengan kelas regular. Apalagi kelas kami di pojok, jarang terjamah hehehe.

Padatnya belajar di awal kelas akselerasi juga prestasiku yang menurun, sempat membuatku stress. Dari yang sejak SD hingga SMP belum pernah mendapat nilai di bawah 6, di awal SMA mendapat nilai ulangan do re mi fa sol. Namun, akhirnya aku memilih semangat berjuang karena merasa baru berada di masa penyesuaian. Waktu semakin berlalu, aku merasa baik dan terbiasa di kelas akselerasi. Walaupun hanya dua kali mendapat peringkat sepuluh besar, tapi Alhamdulillah bisa lulus dengan nilai yang bagiku memuaskan dan yang terpenting adalah hasil sendiri karena mengerjakan ujian tanpa kerja sama dengan teman.

Lulus SMA, aku mendaftar SPMB dan memilih jurusan kedokteran UNS (Universitas Sebelas Maret) dan aku gagal. Aku pun akhirnya tetap masuk di UNS tetapi di program studi S1 PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar) dengan sedikit terpaksa dan berharap mengisi waktu agar tahun depannya bisa mendaftar kedokteran lagi. Aku kuliah seadanya, berharap itu sementara. Namun ternyata tahun depannya tidak diijinkan Ibu untuk pindah kuliah. Walau sedikit kecewa, akhirnya aku bisa semangat kuliah di PGSD. Aku mulai mencintai dunia anak-anak. Aku pun merasa sangat beruntung bisa kuliah di PGSD. Banyak hikmah yang bisa diambil.

Mata kuliah yang paling berkesan adalah mata kuliah yang diajarkan Bapak Gunarhadi (aku lupa mata kuliah apa). Bapak Gunarhadi mengajak mahasiswa berkeliling SLB di Solo. Hal itu membuat kami yang lahir normal tanpa kurang suatu apapun menjadi sangat bersyukur. Selain itu di semester terakhir, ada mata kuliah pilihan yang wajib diikuti. Mata kuliah itu antara Seni Musik atau Seni Tari. Aku yang memang dulu pernah suka musik dan memutuskan berhenti menyukai, akhirnya memilih seni music. Seni musik yang dipelajari saat kuliah adalah Kulintang dan Gitar. Aku yang pernah lama bermain kulintang, tentu tidak merasa kesulitan sama sekali, justru merasa bernostalgia. Sedangkan gitar, aku sama sekali belum pernah belajar. Namun mungkin, memang bakat musik itu ada (kakakku dulu juga jago marching band). Dosen musikku, Bapak Karsono sempat berkata bahwa untuk pemula, permainan gitarku jempol. Bahkan aku sempat membuat satu lagu ciptaanku yang kuperdengarkan kepada teman-teman dekatku. Namun, lagi-lagi, bagiku kuliah seni musik adalah kesempatan bernostalgia dengan hobi saat SMP. Bagiku, musik dan murotal tidak akan pernah sejalan, justru berlawanan. Aku memutuskan mencintai musik dalam kenangan (bukan berarti terus nggak mau menyanyi sama sekali, di sekolah masih ngajar seni musik walau terbatas) serta mencintai Al-Qur’an dalam kenyataan kehidupan.

Sehari setelah hari lahir Ibuku yang ke 51 tahun, yaitu 27 Juli 2010, aku dinyatakan lulus. Tanggal 2 September 2010 aku dan teman-temanku mendapat gelar S.Pd. Aku lulus kuliah dengan IPK 3,41. Sempat menyesal mengapa dulu di awal kuliah tidak sungguh-sungguh sampai tidak bisa cumlaude. Namun, yang paling kupahami adalah restu seorang Ibu menentukan nasib anaknya. Lulus dari kuliah Bapak Ibu menganjurkanku ikut tes CPNS, aku menurut saja walau saat itu aku sudah sangat merasa nyaman menjadi guru di SD AL-Irsyad Surakarta. Tes CPNS terlaksana dengan lancar, tanpa kerja sama tanpa kecurangan. Saat pengumuman aku termasuk yang lolos. Mungkin, jika dulu aku jadi pindah kuliah, mungkin saat itu aku belum lulus dan tidak akan lolos cpns, karena tahun berikutnya, qadarullah, moratorium cpns diberlakukan.

Setelah lolos cpns, tahun 2011 aku ditempatkan di SD Negeri Krajan. Sebuah SD di Kecamatan Jebres Kota Surakarta (Solo). Perpisahan dengan SD Al-irsyad pun tak terhindarkan. Perpisahan yang sama sedihnya dengan perpisahan jaman SD dulu. Perpisahan yang menguras air mata. Lebay!!! Hahaha.

Awal tahun baru 2012, saat usiaku 23 tahun, seorang teman memberitahuku bahwa ada seorang laki-laki yang menginginkanku menjadi istrinya. Aku jawab saja aku belum siap menikah. Aku suruh temanku bilang pada laki-laki itu untuk mencari wanita lain. Namun, ternyata, setelah beberapa bulan. Laki-laki itu pun menanyakan lagi. Hingga akhirnya pada tanggal 8 Juli 2012, laki-laki itu datang ke rumahku bersama sepasang suami istri yang tak lain adalah sahabat saat kuliahku, Mas Moko dan Mbak Eva. Laki-laki itu mengajakku ta’aruf dan menyampaikan maksudnya pada orang tuaku melalui Mas Moko. Ta’aruf pun dilaksanakan. Setelah melalui istikharah yang panjang, dengan mengucap Bismillah, aku pun memutuskan menerimanya.

Tanggal 7 bulan Oktober tahun 2012 menjadi hari bahagia kami. Pernikahanku dengan seorang laki-laki bernama Ardi Rahman Fuady. Sikapnya yang tulus menyayangiku dan mencintaiku membuatku yang awalnya belum cinta menjadi cinta. Benarlah jika cinta itu ditumbuhkan. Itulah mengapa tidak ada kata pacaran dalam islam.

Setahun setelah pernikahan, tepatnya tanggal 26 Oktober 2013, aku didampingi oleh suamiku yang sangat setia, melahirkan seorang bayi perempuan jam 9 malam, teriring hujan yang berharap menjadi keberkahan. Bayi itu kami beri nama Athifa Auliyaur Rahman yang kami harapkan menjadi wanita lemah lembut yang menjadi kekasih Sang Maha Rahman. Yaitu menjadi wanita sholihah dan bertaqwa kepada-Nya.

Tentunya dalam perjalanan rumah tangga kami, ada suka duka silih berganti. Ujian dan kebahagiaan kami rasakan bersama dan kami berharap bisa menjadi keluarga Sakinah Mawaddah Warohmah. Aamiin.
saya, suami dan anak, sumber: dokumen pribadi
adik, Bapak, adik, bungsu, saya dan anak,, Ibu, kakak

Tentang nama. Nama Fafa Fathurrohma adalah nama yang kugunakan sebagai nama pena. Tahun 2011 adalah tahun-tahun saat aktif menulis. Aku aktif mengikuti kegiatan organisasi kepenulisan Forul Lingkar Pena (FLP) Solo. Fafa, berasal dari kecintaanku terhadap angka 4 dan dihubungkan dengan musik jaman dulu, (walaupun suka musik, aku belum pernah nonton konser, dan itu Alhamdulillah). Aku suka angka 4 karena aku lahir tanggal 4, saudaraku 4, dan nada 4 itu adalah fa. Aku sendiri suka huruf F dan A. Nama itu sudah lama kubuat inisial dan nama email. Eh, Qadarullah ternyata F nya Fafa, sedangkan A nya adalah Ardi. Fafa dan Ardi. (emot senyummmmm dan cinta) :D

Nama Fathurrohma berasal dari nama asli saya Fatkhurohmah. Sengaja saya ikutkan karena itu nama pemberian Bapak yang artinya sangat bagus. Hanya saya ubah sesuai huruf arabnya. Jadi jangan heran jika di fb ada yang memanggil amah, itu nama panggilan saya dari kecil sampai kuliah. Di Al-Irsyad saya memperkenalkan diri sebagai Fathur. Setelah itu saya memperkenalkan diri sebagai Fafa. Orang yang memanggil saya dengan Fafa berarti orang kekinian. Termasuk suami saya. ^_^

Satu lagi nama panggilan saya yaitu Rohmah. Itu adaah panggilan keluarga saya. Yang setelah menikah, saya akhirnya memperkenalkan diri di keluarga suami dengan nama Rohmah. Suami jika di tempat kerja dipanggil Rahman. Rohmah dan Rahman. Cocok sekali kan? (senyum lagiii)

Selebihnya, saya berharap bahwa hidup saya diridhoi Alloh Subhanahu Wata’ala. Semoga Alloh mengampuni dosa saya dan merahmati saya dan keluarga.

Alhamdulillahirabbil’alamiin.
____________________________________________________________________________
Saya pertama kali kenal dengan Mbak Ika saat ada acara kopdar IIDN Solo di rumah Mbak Arinta Adiningtyas. Hari Ahad, tanggal 15 Februari 2015. Mbak Ika memperkenalkan diri, bahwa beliau adalah kakak dari Mbak Arinta. Ceritanya Mbak Ika diminta bantuin masak, begitu kata Mbak Arinta. Menurut saya masakannya saat itu, lontong opor, enak banget. Mak nyuusss. Tidak kalah dengan masakan rumah makan.
Setelah kenal di dunia nyata, saya berteman dengan Mbak Ika di dunia maya melalui media social. Mbak Ika seorang yang ramah, baik dan rukun dengan adik-adiknya, mbak Arinta dan dik Opik. Kerukunan mereka mengingatkanku bahwa dulu saat kecil saya ingin sekali mempunyai kakak perempuan yang bias mengajakku bermain dan curhat bareng. ^_^
Mbak Ika sering posting di blog, juga posting masakan, bikin ngiler deh.
Terima kasih sudah mengadakan Giveaway tentang sejarah hidup Mbak Ika, membuatku merasa bersyukur telah melewati kehidupan yang cukup penuh rasa suka dan duka. Semoga Alloh berikan kita keridhoan dan keberkahan. aamiin.
Tulisan saya ini, walau telat posting karena terkendala jaringan, tetap saya posting. Sayang, nulis panjang-panjang nggak jadi disetorin hehehe (tadi ngajar dulu).
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
 
 

Jumat, 25 September 2015

CINTA NAURA



            Naura. Aku masih mengingat canda tawanya. Canda tawa pembias lara. Aku masih terbayang lambaian jari manisnya saat kami berpisah. Dia selalu tersenyum riang. Seolah hidupnya selalu bertaburan kebahagiaan.
            “Kalau kamu benar cinta Dinda, terus berjuang aja! Jangan menyerah!” kata Naura saat bertemu di kampus waktu itu.
            Aku memang menyimpan hati pada Dinda, perempuan yang anggun, cerdas dan cantik. Namun, Dinda telah menolak lamaranku dengan alasan belum siap menikah. Dinda bilang akan memikirkan lamaranku suatu saat nanti. Maka aku putuskan untuk menunggunya. Aku bertambah yakin karena Naura, sahabat baik Dinda, mendukungku. Jelas aku ke-GR-an mengira Dinda sebenarnya suka padaku.
            “Aku sebenarnya sudah punya pilihan. Aku ingin menikah dengan lelaki pilihanku. Namun, orang tuaku tidak setuju pada hubungan kami. Aku masih memperjuangkannya. Maafkan aku!” Ucap Dinda tegas tanpa henti, tepat 6 bulan masa penantianku. Aku sangat kesal.
            Aku tanyakan pada Naura mengapa tak pernah cerita yang sebenarnya. Naura berulang kali minta maaf bahkan kudengar suaranya hampir menangis. Ternyata dia telah berjanji pada Dinda untuk menjaga rahasia. Aku pun memakluminya.
            Aku semakin melupakan Dinda dan semakin dekat dengan Naura. Hampir setiap hari aku menghubunginya. Aku terlanjur nyaman berbagi apapun pada Naura. Hingga suatu ketika Naura menitikkan air mata saat melihatku terbaring sakit, aku mulai menangkap ada sesuatu di hatinya. Sejak saat itu, aku sering mengajaknya bertemu. Entah apa yang sebenarnya kurasakan. Aku katakan aku memiliki kecenderungan hati padanya. Aku nyaman bersamanya. Aku pun nyaman ketika Naura mengajakku bermain ke rumah Dinda. Aku berpikir Dinda sudah memiliki pilihan, jadi tidak ada salahnya kuiyakan ajakan Naura. Namun, sepulangnya dari rumah Dinda, kakak Dinda meneleponku bahwa orang tuanya sangat suka padaku. Orang tuanya ingin Dinda menikah denganku. Mereka tak tahu sama sekali jika aku telah sangat dekat dengan Naura. Bagai makan buah simalakama. Dinda yang telah kutepis dari hatiku kini hadir kembali. Bayang-bayang Dinda dan Naura terus memenuhi otakku.
            “Naura, aku sungguh bingung memilih kamu atau Dinda! Atau aku pilih kalian berdua?” kuutarakan kebingungan hatiku tanpa peduli perasaan Naura. Naura pun tahu keinginan orang tua Dinda.
            “Silahkan saja jika itu pilihanmu, Haris!” jawab Naura tegas.
            “Kamu tidak takut jika aku jadi suamimu lalu berpoligami?” tanyaku mendelik.
            “Kenapa harus takut?Takdirku telah tertulis dalam kitab-Nya. Tintanya telah kering. Jika memang aku ditakdirkan untuk dimadu suamiku, aku akan bisa melewatinya dengan baik. Aku yakin Allah tidak akan membebaniku di luar kemampuanku.” Naura menjawab dengan mantap. Aku terharu bahkan hampir menangis. Namun bayangan Dinda masih menari-nari dalam pikiranku.
Akhirnya selang satu bulan aku meminta pendapat Ibuku. Ibuku lebih memilih Dinda. Entah apa alasannya hingga Naura merasa tidak diharapkan. Padahal aku belum menentukan pilihan. Naura menjauh dariku, menjauh dan menjauh. Kulihat Naura tak seceria dulu. Aku merasa bersalah. Kupaksa Dinda memastikan apakah hatinya benar diberikan padaku. Namun Dinda bingung. Dinda tidak menjawab. Aku jadi tersadar aku selama ini menyia-nyiakan cinta Naura.
            “Naura, aku memilihmu!” Ucapku tak sabar saat aku menelponnya. Kudengar Naura terisak. Aku menunggunya bersuara.
            “Orang tuaku menganggap kamu mempermainkan aku. Aku akan menikah dengan lelaki pilihan orang tuaku. Mohon maafkan semua salahku. Aku minta dengan sangat, kamu jangan hubungi aku lagi, Haris!” Naura terisak berat dan menutup teleponnya. Sudut mataku basah oleh tetesan kesedihan dan penyesalan.
            Naura, semoga kamu bahagia dengan suamimu. Aku tahu aku adalah lelaki bodoh yang telah menyia-nyiakan cintamu. Aku berharap suatu saat akan menemukan perempuan sepertimu, yang mencintaiku setulus cintamu padaku.

                                                                                                 Sukoharjo, 25 September 2015

IIDN SOLO TIADA HENTI BERPRESTASI












Senin, 07 September 2015

BELAJAR BERSAMA KANG ABIK




                (Bismillaahirrahmaanirrahiim)

                Lagi-lagi saya mendapat kesempatan menuntut ilmu kepada seorang penulis ternama. Ya, beliau adalah Habiburrahman El Shirazy atau yang biasa dipanggil Kang Abik. Kang Abik diundang secara khusus untuk mengisi stadium general (kuliah umum) di kampus STIM (Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Mukmin) Ngruki, Sukoharjo bertepatan hasi Senin tanggal 31 Agustus 2015. Namun, saya sebagai anggota IIDN (Ibu-Ibu Doyan Nulis) Solo mendapat kesempatan belajar bersama Kang Abik atas undangan dosen STIM, Pak Fajar Shodiq, yang juga merupakan suami dari ibu penasehat IIDN SOLO, Ibu Candra Nila Murti Dewojati. (Sedikit nepotisme apa ndak ya ini..hehehe).

                Acara dijadwalkan dimulai pukul 13.00 WIB. Namun saya baru sampai di lokasi pukul 14.15 WIB karena menghabiskan jam dinas terlebih dahulu. Untungnya acara belum dimulai dan terpaksa diundur karena pesawat Kang Abik baru mendarat pukul 13.00 WIB di Bandara Adi Soemarmo, Boyolali, sehingga masih butuh waktu untuk perjalanan dari bandara ke kampus STIM.

Setelah daftar ulang, saya langsung menuju ruang seminar. Saya PD saja duduk sendirian diantara sekian banyak siswa SMA dan Mahasiswa STIM yang rata-rata masih remaja dan tidak ada yang saya kenal satupun (Peserta seminar kemarin juga dihadiri oleh siswa kelas 3 SMA Pondok Al-Mukmin Ngruki, SMA Islam Gading dan Siswa SMA MTA Surakarta). Setelah beberapa lama saya menjadi “ibu-ibu” sendirian, akhirnya datanglah Bu Candra, sehingga duduklah dua “ibu-ibu” diantara sekian banyak remaja yang cantik dan ganteng. Tak lama setelah kedatangan Bu Candra, seolah ada ikatan jiwa antara sepasang suami istri, Pak Fajar yang menjadi moderator mulai memberikan sambutan. Sempurna! (Pak Fajar kok seperti nunggu istrinya datang dulu biar nggak ketinggalan, hehehe. Nah lho, ini mau nyeritain Kang Abik apa nyeritain Pak Fajar dan BU Candra, to?cut cut cut! Hehehe).

Singkat cerita (padahal masih panjang), Kang Abik telah tiba di lokasi dan mulai berbagi pengalamannya tentang novel dan film. Berikut ini akan saya ulas dengan bahasa saya sendiri dan sedikit tambahan tanpa mengubah inti materi. Selamat mambaca! J
Pak Fajar Shodiq dan Kang Abik

Kang Abik memulai dengan cerita dalam Q.S. Yusuf, saat Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam memerintahkan anak-anaknya pergi ke Mesir di musim kemarau yang panjang. Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam menganjurkan agar anak-anaknya memasuki Mesir secara menyebar “dari berbagai pintu, tidak pada pintu yang sama”. Menurut Kang Abik, kalimat “dari berbagai pintu, tidak pada pintu yang sama” ini sangat cocok untuk metode berdakwah. Berdakwah di jalan Alloh itu dari pintu yang bermacam-macam, karena cara berpikir manusia berbeda-beda, tidak ada yang sama. Dari sekian banyak masyarakat, ada di antara mereka yang hatinya bisa disentuh lewat mimbar masjid dengan ceramah-ceramah, ada yang bisa disentuh melalui pelatihan-pelatihan, ada yang bisa disentuh melalui hobi yang baik, ada juga yang bisa disentuh dengan jalan pendidikan dan lain-lain. Diantara sekian banyak pintu tersebut ada yang bisa disentuh melalui seni. Seni yang dimaksud di sini adalah karya sastra.

                Jika diperhatikan, Alloh Subhanahu Wa Ta’ala memberikan mukjizat kepada Nabi pilihan-Nya sesuai dengan keadaan kaum Nabi tersebut. Alloh Subhanahu Wa Ta’ala memberikan mukjizat kepada Nabi Musa ‘Alaihissalam berupa tongkat yang bisa diubah menjadi ular. Ketika itu kaum Nabi Musa ‘Alaihissalam banyak yang menggunakan sihir. Siapa yang paling kuat sihirnya, maka dialah yang menang. Alloh Subhanahu Wa Ta’ala memberikan mukjizat kepada Nabi Isa ‘Alaihissalam berupa kemampuan bisa menyembuhkan orang buta, kusta bahkan menghidupkan orang yang telah meninggal atas ijin-Nya. Saat itu kaum Nabi Isa ‘Alaihissalam sedang berada di puncak mengenal ilmu yang berkaitan dengan kesehatan. Demikian pula Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam diberi mukjizat oleh Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berupa Al-Qur’an yang merupakan firman Alloh Subhanahu Wa Ta’ala yang bernilai sastra tinggi dan tiada tandingannya. Pada saat itu kaum Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam merupakan kaum yang pandai bersyair. Kabilah-kabilah di Arab bisa berseteru hanya karena syair suatu kabilah yang isinya memuji-muji pemimpinnya atau merendahkan kabilah lain. Al-Qur’an diakui sebagai mukjizat paling hebat dan mengalahkan syair-syair. Para pakar syair di zaman Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam terpesona dengan Al-Qur’an cukup dengan tiga huruf Alif Lam Mim. Al-Qur’an diakui tidak berasal dari manusia tetapi kebanyakan dari mereka tidak beriman.

                Penyair di zaman Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam terbelah menjadi dua, sebagian masuk islam dan sebagian lagi tetap jahiliyah/ memusuhi islam.

                Ketika Fathul Makkah, dimana Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menyerukan aman bagi siapa saja yang masuk Masjidil Haram dan rumah Abu Sofyan. Ada beberapa penyair yang tidak diampuni Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam karena selalu menghina dan merendahkan islam juga Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Saat itu Rasulullah memanggil Hasan bin Tsabit yang terkenal sebagai penyairnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Beliau memerintahkan kepada Hasan bis Tsabit untuk mengeluarkan syairnya, mengucapkan syairnya dan Beliau berkata bahwa Jibril akan menyertai Hasan bin Tsabit. Namun, dalam syairnya, meskipun Hasan bin Tsabit bermaksud membalas kepada mereka yang menghina islam, Hasan bin Tsabit tetap menggunakan bahasa yang sopan. Dari cerita ini bisa diambil kesimpulan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menggunakan syair melalui Hasan bin Tsabit untuk berdakwah, sedangkan syair termasuk karya sastra.

                Kang Abik sendiri pun bercerita ketika sedang di Mesir, Kang Abik pernah menemukan kumpulan syair Abu Bakar Ash-Shidiq, Diwan Abu Bakar, yang menandakan bahwa Abu Bakar Ash-Shidiq ternyata seorang penyair yang ulung.

                Menurut Kang Abik, sastra bisa dikemas dalam berbagai hal diantaranya film. Tentu film ini harus mendidik sehingga mempengaruhi kehidupan ke arah lebih baik. Kang Abik bercerita ketika mungkin dulu saat novel beliau, Ayat-Ayat Cinta, difilmkan dan menjadi pro kontra, beliau hanya ingin sisi positifnya bisa menjadikan kebaikan. Salah satunya yaitu ketika Aisyah bercadar, hal tersebut agar masyarakat awam tidak takut dan memandang negatif terhadap orang bercadar. Dan benar saja, film Ayat-Ayat Cinta yang fenomenal itu menimbulkan fenomena sosial lain yaitu muncul kerudung Ayat-Ayat Cinta sehingga semakin banyak muslimah yang berkerudung.

                Pengalaman Kang Abik yang lain yaitu dalam film Ketika Cinta Bertasbih (KCB), pemain yang bermain dalam film tersebut dikontrak untuk tidak bersentuhan tangan dengan pemain lawan jenis yang bukan mahram. Hal tersebut tentu sangat berpengaruh terhadap penonton, karena ternyata ada artis yang tetap menjaga diri walau dia bermain peran dengan lawan jenis.

                Jika dilihat, di Indonesia rating televisi yang paling tinggi adalah sinetron. Jika saja ada insan pertelevisian yang bisa memanfaatkan dengan menyuguhkan sinetron yang berkualitas, maka akan membawa perubahan positif tersendiri bagi penikmat sinetron. Gambar saja yang tidak ada kata-katanya mampu menjelaskan peristiwa yang terjadi. Misalnya gambar seorang anak kecil yang menangis di depan jenazah ibunya, orang yang melihat gambar tersebut bisa ikut merasa sedih bahkan menangis membayangkan peristiwa dalam gambar. Begitu dahsyatnya masa terpengaruh oleh yang ditontonnya maka bisa kita simpulkan bahwa media itu ibarat pisau. Pisau, jika di tangan penjahat, akan digunakan untuk kejahatan. Tetapi, jika di tangan seorang ibu, maka akan digunakan untuk kebaikan, seperti memasak untuk suami dan anak-anak. Maka media harus bisa kita manfaatkan sebaik-baiknya untuk menebar kebaikan.

                Oleh karena itu, bisa saya simpulkan dari materi yang disampaikan Kang Abik, bahwa dalam berdakwah, kita harus cerdas dan inovatif dengan tetap memegang nila-nilai kebaikan.

                Nah, sudah selesai (ngos-ngosan nih,hehehe). Setelah materi selesai, dilanjutkan sesi tanya jawab dan foto-foto serta minta tanda tangan Kang Abik. Oh iya, seminar sempat di break untuk sholat Ashar terlebih dahulu, dan saat Ashar itu Bunda Yuni nyusul ikut seminar. Jadi bergabunglah tiga ibu-ibu di antara remaja-remaja nan cantik dan ganteng. Kami pun berfoto dengan Kang Abik dan mendapat tanda tangannya. Sayangnya kami tidak ada yang membawa novel beliau, sehingga tanda tangannya di buku biasa, sayang banget kan padahal di rumah ada novelnya beliau. Tapi Alhamdulillah banget deh bisa ikut belajar bersama Kang Abik walau harus memendam rindu pada keluarga karena jam 5 sore baru selesai. Hehehe. Lebay!  Yang kemarin tidak bisa gabung jangan ngiri ya! Hehehe.
(dari kiri) Bu Candra, Pak Fajar, Kang ABik, Bunda Yuni, dan Saya (Fafa Fathurrohma)
Tanda Tangan Kang Abik


(dari kiri) Bu Candra, saya (Fafa Fathurrohma) dan Bunda Yuni
                Akhir kata, mohon maaf jika dalam tulisan saya ada yang tidak berkenan. Terima kasih sudah mau membaca sedikit tulisan saya yang menurut saya agak amburadul. Semoga bermanfaat. Salam! J

 

                                                                                                                                    Fafa Fathurrohma

                                                                                                                Sukoharjo, 4 September 2015

                                                                                                                                               

               

Rabu, 04 Maret 2015



SELAT SOLO, MANTAP!


                Kota Solo merupakan kota yang sarat pesona. Kota kecil yang dijuluki kota bengawan ini memiliki banyak hal menarik yang selalu membuat orang betah tinggal di Solo. Salah satu daya tariknya adalah kulinernya. Selain banyak macamnya, cita rasanya juga khas dan yang pasti harganya sangat terjangkau.
Selat solo adalah salah satu kuliner khasnya. Hidangan tradisional asli Solo ini sangat nikmat dan segar. Selat solo terdiri dari wortel, buncis, ketimun, kentang goreng, selada, telur bacem / telur kecap dan daging. Khusus daging ada yang memakai daging cacah, galantin, daging iris atau iga tergantung selera masing-masing. Semua bahan tersebut disiram dengan kuah semur. Tak lupa ditambah mayonese yang rasanya kecut segar.
Sajian selat solo ini bisa dinikmati kapan pun. Disantap untuk sarapan oke, untuk makan siang sangat cocok, untuk makan malam pun sangat  lezat. Selain itu, selat solo juga bisa dihidangkan untuk jamuan tamu bahkan camilan. Selat solo ini terbilang makanan yang sehat dan baik untuk tubuh. Nilai gizi yang terkandung di dalamnya tidak diragukan. Ada protein nabati, protein hewani, karbohidrat, vitamin A, vitamin K, serta bermacam mineral.
Selat Solo, mantap!
Di kota Solo sendiri tidak sulit untuk menemukan warung selat solo. Salah satu tempat makan selat solo yang terkenal adalah Warung Selat (Solo) Mbak Lies yang terdapat di Serengan. Warung selat Mbak Lies ini  menyediakan  beberapa macam selat diantaranya selat solo / selat bestik dan selat galantin. Selat galantin ada 2 macam yaitu selat galantin kuah saos dan selat galantin kuah segar. Kuah dari selat galantin saos berwarna orange agak kemerahan, sedangkan kuah segar berwarna bening kecoklatan. Perpaduan asam, manis dan gurihnya sangat terasa. Benar-benar mantap…!!! Untuk menikmati selat galantinnya cukup merogoh kocek sekitar sepuluh ribu rupiah. Cukup murah kan?
Selat Solo Mbak Lies
Jika ingin mencoba, teman-teman bisa datang ke  warung selat Mbak Lies yang buka setiap hari pukul 9 pagi hingga pukul 5 sore. Lokasinya mudah dijangkau. Dari perempatan Serengan ke selatan hingga ketemu gang di kiri jalan yang terdapat tulisan warung selat Mbak Lies. Setelah ketemu, masuk gang tersebut. Jika ke sana, teman-teman akan terpana dengan desain interior warungnya yang penuh pernak-pernik. Di dindingnya banyak piring keramik tergantung yang ditandatangani oleh orang penting yang pernah menikmati selat di sana. Diantaranya ada tanda tangan tokoh negara seperti Bapak Amien Rais dan Bapak Try Sutrisno. Ada juga artis Indonesia seperti Shanty, Vonie Cornellia, Novieta Angie, Parto OVJ dan lain-lain. Seru kan?
Selamat mencoba dan menikmati selat solo yang mantap…!!!

Senin, 30 April 2012

Sembunyi Sendiri


aku nyaris kehilangan ide
mengais akal tuk mencari tempat persembunyian

aku tertutup malu
memilin kain tuk menutup wajahku
menyembunyikan tubuhku dan mengamankan hatiku

bukan aku hendak lari
kuhanya ingin menyendiri
melipat rapi semua cerita yang tak bertepi

bukan aku hendak menghilang
kuhanya tak mau semakin runyam
biarkan semua terbang bersatu dengan alam

biarkan aku sembunyi
biarkan aku sendiri
kan kuukir mimpi
kan kubuang keraguan diri
menjauh dari segala luka hati
Dengan Cinta


Melangkah menyisir bibir keceriaan
Berlari menggenggam kemenangan
Langit biru tersenyum
Mendung menyerah menampakkan diri
Sedang mentari melambaikan sinarnya pada bumi
Dan di sini.......
Aku memeluk hangatnya bumi
Bertemankan bulan yang indah
Berhiaskan bintang-bintang yang menari
Juga dengan cinta........
Cinta dari orang-orang yang menyayangiku
Dan juga dengan cinta.......
Untuk orang-orang yang kusayangi
Kepada Diam


Kau tetap saja berdiri
Tak pernah sedetikpun mencoba berlari

Kau tetap saja angkuh
Tak pernah sesekali rapuh

Telah kubungkus kau dengan kotak perhiasan
Kuhias dengan pita berwarna jingga
Kutuliskan namamu
Lalu kusimpan di brankas jiwaku

Kueja tiap butir kodemu
Kucatat dan kubaca
Kugenggam seolah takut tiada

Kulukis ucapan terimakasih
Karna kau telah menemaniku dalam kebisuanku