Naura. Aku masih mengingat canda tawanya. Canda tawa pembias lara.
Aku masih terbayang lambaian jari manisnya saat kami berpisah. Dia selalu
tersenyum riang. Seolah hidupnya selalu bertaburan kebahagiaan.
“Kalau kamu benar cinta Dinda, terus berjuang aja! Jangan menyerah!”
kata Naura saat bertemu di kampus waktu itu.
Aku
memang menyimpan hati pada Dinda, perempuan yang anggun,
cerdas dan cantik. Namun, Dinda telah menolak lamaranku dengan alasan belum
siap menikah. Dinda bilang akan memikirkan lamaranku suatu saat nanti. Maka aku
putuskan untuk menunggunya. Aku bertambah yakin karena Naura, sahabat baik
Dinda, mendukungku. Jelas aku ke-GR-an mengira Dinda sebenarnya suka
padaku.
“Aku sebenarnya sudah punya pilihan. Aku ingin menikah dengan lelaki
pilihanku. Namun, orang tuaku tidak setuju pada hubungan kami. Aku masih
memperjuangkannya. Maafkan aku!” Ucap Dinda tegas tanpa henti, tepat 6 bulan
masa penantianku. Aku sangat kesal.
Aku tanyakan pada Naura mengapa tak pernah cerita yang sebenarnya.
Naura berulang kali minta maaf bahkan kudengar suaranya hampir menangis.
Ternyata dia telah berjanji pada Dinda untuk menjaga rahasia. Aku pun
memakluminya.
Aku semakin melupakan Dinda dan semakin dekat dengan Naura. Hampir
setiap hari aku menghubunginya. Aku terlanjur nyaman berbagi apapun pada Naura.
Hingga suatu ketika Naura menitikkan air mata saat melihatku terbaring sakit,
aku mulai menangkap ada sesuatu di hatinya. Sejak saat itu, aku sering
mengajaknya bertemu. Entah apa yang sebenarnya kurasakan. Aku katakan aku
memiliki kecenderungan hati padanya. Aku nyaman bersamanya. Aku pun nyaman
ketika Naura mengajakku bermain ke rumah Dinda. Aku berpikir Dinda sudah
memiliki pilihan, jadi tidak ada salahnya kuiyakan ajakan Naura. Namun,
sepulangnya dari rumah Dinda, kakak Dinda meneleponku bahwa orang tuanya sangat
suka padaku. Orang tuanya ingin Dinda menikah denganku. Mereka tak tahu sama
sekali jika aku telah sangat dekat dengan Naura. Bagai makan buah simalakama.
Dinda yang telah kutepis dari hatiku kini hadir kembali. Bayang-bayang Dinda
dan Naura terus memenuhi otakku.
“Naura, aku sungguh bingung memilih
kamu atau Dinda! Atau aku pilih kalian berdua?” kuutarakan kebingungan hatiku
tanpa peduli perasaan Naura. Naura pun tahu keinginan orang tua Dinda.
“Silahkan saja jika itu pilihanmu,
Haris!” jawab Naura tegas.
“Kamu tidak takut jika aku jadi
suamimu lalu berpoligami?” tanyaku mendelik.
“Kenapa harus takut?Takdirku telah tertulis dalam kitab-Nya.
Tintanya telah kering. Jika memang aku ditakdirkan untuk dimadu suamiku, aku
akan bisa melewatinya dengan baik. Aku yakin Allah tidak akan membebaniku di
luar kemampuanku.” Naura menjawab dengan mantap. Aku terharu bahkan hampir
menangis. Namun bayangan Dinda masih menari-nari dalam pikiranku.
Akhirnya selang satu bulan aku meminta pendapat Ibuku. Ibuku lebih
memilih Dinda. Entah apa alasannya hingga Naura merasa tidak diharapkan.
Padahal aku belum menentukan pilihan. Naura menjauh dariku, menjauh dan
menjauh. Kulihat Naura tak seceria dulu. Aku merasa bersalah. Kupaksa Dinda
memastikan apakah hatinya benar diberikan padaku. Namun Dinda bingung. Dinda
tidak menjawab. Aku jadi tersadar aku selama ini menyia-nyiakan cinta Naura.
“Naura, aku memilihmu!” Ucapku tak sabar saat aku menelponnya. Kudengar
Naura terisak. Aku menunggunya bersuara.
“Orang tuaku menganggap kamu
mempermainkan aku. Aku akan menikah dengan lelaki pilihan orang tuaku. Mohon maafkan
semua salahku. Aku minta dengan sangat, kamu jangan hubungi aku lagi, Haris!”
Naura terisak berat dan menutup teleponnya. Sudut mataku basah oleh tetesan
kesedihan dan penyesalan.
Naura, semoga kamu bahagia dengan suamimu. Aku tahu aku adalah
lelaki bodoh yang telah menyia-nyiakan cintamu. Aku berharap suatu saat akan
menemukan perempuan sepertimu, yang mencintaiku setulus cintamu padaku.
IIDN SOLO TIADA HENTI BERPRESTASI
Hiks, lelaki plinplan! tak punya pendirian! Pengecuttttt
BalasHapus